Monday, January 13, 2014

Pelanggaran Hukum Terhadap Pelanggaran Etika: Dinasti Ratu Atut



Kode Etik dapat diartikan sebagai pola aturan, tata cara, tanda, pedoman etis dalam melakukan suatu kegiatan atau pekerjaan. Kode etik merupakan pola aturan atau tata cara sebagai pedoman berperilaku. Tujuan kode etik agar profesional memberikan jasa sebaik-baiknya kepada pemakai atau nasabahnya. Adanya kode etik akan melindungi perbuatan yang tidak profesional.
Kode etik profesi juga merupakan suatu tatanan etika yang telah disepakati oleh suatu kelompok masyarakat tertentu. Kode etik umumnya termasuk dalam norma sosial, namun bila ada kode etik yang memiliki sanksi yang agak berat, maka masuk dalam kategori norma hukum.
Menurut Wiryono Kusumo hukum adalah keseluruhan peraturan baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur tata tertib dalam masyarakat dan terhadap pelanggarnya umumnya dikenakan sanksi. Sedangkan tujuan dari hukum adalah untuk mengadakan keselamatan, kebahagiaan, dan ketertiban dalam masyarakat. Berdasarkan definisi tersebut dapat dikatakan bahwa hukum merupakan suatu peraturan yang dibuat baik secara tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur tata cara hidup masyarakat dalam suatu kehidupan bermasyarakat dan bagi pelanggarnya akan dikenakan sanksi.
Saat ini banyak sekali pelanggaran-pelanggaran hukum baik ringan ataupun berat yang dilakukan oleh masyarakat. Para pelanggar hukum disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal merupakan faktor-faktor di dalam diri pelaku para pelanggar hukum seperti sifat, etika serta psikologis dalam diri. Sedangkan, faktor eksternal merupakan faktor-fakor diluar diri pelaku seperti faktor lingkungan yang dapat menyebabkan seseorang melakukan tindak pelanggaran hukum.
Setiap profesi pasti memiliki kriteria kode etiknya sendiri dan banyak yang mengalami kasus pelanggaran hukum kode etik pada setiap profesi. Dalam tahun 2013 khususnya di bidang ekonomi, banyak kasus pelanggaran hukum kode etik yang banyak diperbincangkan, seperti kasus pelanggaran hukum kode etika di bidang kepolisian, maupun di bidang pemerintahan. Sebagai contoh dapat diambil dari kasus-kasus saat ini seperti bagaimana dinasti politik Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah. Tercatat sembilan pejabat di lima daerah di Provinsi Banten masih mempunyai hubungan saudara dengan Ratu Atut.
Apakah salah jika memiliki banyak keluarga di wilayah kekuasaannya? Tentu tidak. Namun, banyaknya keluarga yang juga duduk sebagai pejabat di wilayah menimbulkan prasangka bahwa ada yang tidak benar dalam proses pemerintahannya. Kecurigaan pada bagaimana proses pemilihannya hingga untuk melanggengkan kekuasaan tentu menjadi kasak-kusuk yang lumrah. Keluarga ikut menjabat memang tidak menyalahi aturan apalagi jika memang kompetensi bisa dipertanggungjawabkan.
Artinya, meskipun masih satu keluarga namun jika kompetensi pejabat tersebut sudah tepat dan mampu melakukan perubahan ke arah yang lebih baik, tentu tidak akan masalah. Akan menjadi masalah ketika ternyata keluarga yang ikut menjabat tidak mempunyai kompetensi dan justru tidak membawa perubahan yang positif. Singkatnya, secara aturan silakan menjabat asal mempunyai kompetensi yang tepat.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga pernah mempunyai keluarga yang duduk sebagai pejabat tinggi. Secara aturan tak masalah, namun dari segi kepantasan akan menjadi kurang tepat, karena dinasti politik akan memunculkan prasangka seperti di atas. Nah, untuk menghindari munculnya prasangka ini, sungguh tak pantas jika ada keluarga yang dipilih menjadi pejabat di wilayah kekuasaannya meski ada kompetensi di dalam keluarganya.
Bagi keluarga yang memang mempunyai kompetensi, akan menjadi berat dengan kepantasan ini. Kepantasan terkait erat dengan etika. Sanksi dari etika bukan seperti hukum formal seperti denda atau hukuman badan, namun lebih pada labelisasi dari masyarakat. Sanksi dari etika tidak tampak jelas dan tidak mengikat, sedangkan hukum formal lebih tampak jelas serta mengikat.
Posisi etika di kehidupan sosial lebih tinggi dari hukum formal. Untuk menjaga etika ini maka muncul hukum formal. Namun, tidak bisa semua etika diwujudkan dalam hukum formal. Namun, hukum formal muncul dari etika. Karena tidak mempunyai hukuman yang mengikat, banyak pihak yang memilih melanggar etika daripada hukum formal. Dan yang terjadi, banyak orang yang lebih malu melanggar hukum formal daripada etika.
Pelanggaran etika dianggap sebagai pelanggaran biasa atau common violations, bahkan banyak yang menganggap pelanggaran etika sebagai kebiasaan normal. Sementara itu, pelanggaran hukum formal dianggap sebagai pelanggaran luar biasa atau outstanding violations. Jika memang dilihat dari sanksinya memang akan terjadi seperti itu, namun jika dilihat dari tingkatan tentu bukan seperti itu. Etika mempunyai cakupan yang lebih luas daripada hukum formal.
Semua yang terdapat di hukum formal ada di etika sedangkan tak semua yang ada di etika terdapat di hukum formal. Ketika masyarakat bisa menjalankan semua etika kehidupan sosial yang benar, mungkin hukum formal tidak akan dibutuhkan. Namun itu akan sulit dicapai, karena kehidupan sosial yang bersubjek pada manusia akan sulit bahkan tidak mungkin menegakan etika 100%. Nah, pada dinasti politik kondisi ini yang berlaku yaitu hukum formal dianggap lebih berarti dibandingkan pada etika.
Secara hukum formal melanggar, namun secara etika maka dinasti politik jauh dari kepantasan. Bahkan parahnya lagi, persoalan kepantasan pun akan kembali diperdebatkan sehingga semakin mengaburkan etika. Sebagian pihak menganggap dinasti politik adalah hal yang pantas. Namun bagi masyarakat, akan memunculkan prasangka bahwa terjadi proses yang tidak benar dalam pemilihannya.
Atut sebagai pemuncak dinasti politiknya semestinya sadar bahwa akan lebih baik mengedepankan etika daripada hukum formal. Apalagi, posisi dia sebagai pimpinan tertinggi di wilayah Banten. Seorang pemimpin yang baik tentu tidak hanya dilihat dari keteraturan dia menjalani hukum formal, namun juga pada etika. Nah, kepantasan dari dinasti politik Atut akan semakin diuji tidak hanya oleh masyarakat namun dengan kasus suap yang menimpa adiknya, Tubagus Chaery Wardhana yang saat ini tengah disidik oleh Komisi Pemberantas Korupsi.

Sumber: http://www.koran-sindo.com/node/335774