Kode Etik dapat
diartikan sebagai pola aturan, tata cara, tanda, pedoman etis dalam melakukan
suatu kegiatan atau pekerjaan. Kode etik merupakan pola aturan atau tata cara
sebagai pedoman berperilaku. Tujuan kode etik agar profesional memberikan jasa sebaik-baiknya
kepada pemakai atau nasabahnya. Adanya kode etik akan melindungi perbuatan yang
tidak profesional.
Kode etik profesi juga merupakan suatu
tatanan etika yang telah disepakati oleh suatu kelompok masyarakat tertentu.
Kode etik umumnya termasuk dalam norma sosial, namun bila ada kode etik yang
memiliki sanksi yang agak berat, maka masuk dalam kategori norma hukum.
Menurut
Wiryono Kusumo hukum adalah keseluruhan peraturan baik yang tertulis maupun
tidak tertulis yang mengatur tata tertib dalam masyarakat dan terhadap
pelanggarnya umumnya dikenakan sanksi. Sedangkan tujuan dari hukum adalah untuk
mengadakan keselamatan, kebahagiaan, dan ketertiban dalam masyarakat.
Berdasarkan definisi tersebut dapat dikatakan bahwa hukum merupakan suatu
peraturan yang dibuat baik secara tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur
tata cara hidup masyarakat dalam suatu kehidupan bermasyarakat dan bagi
pelanggarnya akan dikenakan sanksi.
Saat ini
banyak sekali pelanggaran-pelanggaran hukum baik ringan ataupun berat yang
dilakukan oleh masyarakat. Para pelanggar hukum disebabkan oleh dua faktor,
yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal merupakan faktor-faktor di
dalam diri pelaku para pelanggar hukum seperti sifat, etika serta psikologis
dalam diri. Sedangkan, faktor eksternal merupakan faktor-fakor diluar diri
pelaku seperti faktor lingkungan yang dapat menyebabkan seseorang melakukan
tindak pelanggaran hukum.
Setiap profesi
pasti memiliki kriteria kode etiknya sendiri dan banyak yang mengalami kasus
pelanggaran hukum kode etik pada setiap profesi. Dalam tahun 2013 khususnya di
bidang ekonomi, banyak kasus pelanggaran hukum kode etik yang banyak
diperbincangkan, seperti kasus pelanggaran hukum kode etika di bidang
kepolisian, maupun di bidang pemerintahan. Sebagai contoh dapat diambil dari
kasus-kasus saat ini seperti bagaimana dinasti politik Gubernur Banten Ratu
Atut Chosiyah. Tercatat sembilan pejabat di lima daerah di Provinsi Banten
masih mempunyai hubungan saudara dengan Ratu Atut.
Apakah salah
jika memiliki banyak keluarga di wilayah kekuasaannya? Tentu tidak. Namun,
banyaknya keluarga yang juga duduk sebagai pejabat di wilayah menimbulkan
prasangka bahwa ada yang tidak benar dalam proses pemerintahannya. Kecurigaan
pada bagaimana proses pemilihannya hingga untuk melanggengkan kekuasaan tentu
menjadi kasak-kusuk yang lumrah. Keluarga ikut menjabat memang tidak menyalahi
aturan apalagi jika memang kompetensi bisa dipertanggungjawabkan.
Artinya,
meskipun masih satu keluarga namun jika kompetensi pejabat tersebut sudah tepat
dan mampu melakukan perubahan ke arah yang lebih baik, tentu tidak akan masalah.
Akan menjadi masalah ketika ternyata keluarga yang ikut menjabat tidak
mempunyai kompetensi dan justru tidak membawa perubahan yang positif.
Singkatnya, secara aturan silakan menjabat asal mempunyai kompetensi yang
tepat.
Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono juga pernah mempunyai keluarga yang duduk sebagai
pejabat tinggi. Secara aturan tak masalah, namun dari segi kepantasan akan
menjadi kurang tepat, karena dinasti politik akan memunculkan prasangka seperti
di atas. Nah, untuk menghindari munculnya prasangka ini, sungguh tak pantas
jika ada keluarga yang dipilih menjadi pejabat di wilayah kekuasaannya meski
ada kompetensi di dalam keluarganya.
Bagi keluarga
yang memang mempunyai kompetensi, akan menjadi berat dengan kepantasan ini.
Kepantasan terkait erat dengan etika. Sanksi dari etika bukan seperti hukum
formal seperti denda atau hukuman badan, namun lebih pada labelisasi dari
masyarakat. Sanksi dari etika tidak tampak jelas dan tidak mengikat, sedangkan
hukum formal lebih tampak jelas serta mengikat.
Posisi etika
di kehidupan sosial lebih tinggi dari hukum formal. Untuk menjaga etika ini
maka muncul hukum formal. Namun, tidak bisa semua etika diwujudkan dalam hukum
formal. Namun, hukum formal muncul dari etika. Karena tidak mempunyai hukuman
yang mengikat, banyak pihak yang memilih melanggar etika daripada hukum formal.
Dan yang terjadi, banyak orang yang lebih malu melanggar hukum formal daripada
etika.
Pelanggaran
etika dianggap sebagai pelanggaran biasa atau common violations, bahkan banyak yang
menganggap pelanggaran etika sebagai kebiasaan normal. Sementara itu,
pelanggaran hukum formal dianggap sebagai pelanggaran luar biasa atau
outstanding violations. Jika memang dilihat dari sanksinya memang akan terjadi
seperti itu, namun jika dilihat dari tingkatan tentu bukan seperti itu. Etika
mempunyai cakupan yang lebih luas daripada hukum formal.
Semua yang
terdapat di hukum formal ada di etika sedangkan tak semua yang ada di etika
terdapat di hukum formal. Ketika masyarakat bisa menjalankan semua etika
kehidupan sosial yang benar, mungkin hukum formal tidak akan dibutuhkan. Namun
itu akan sulit dicapai, karena kehidupan sosial yang bersubjek pada manusia
akan sulit bahkan tidak mungkin menegakan etika 100%. Nah, pada dinasti politik
kondisi ini yang berlaku yaitu hukum formal dianggap lebih berarti dibandingkan
pada etika.
Secara hukum
formal melanggar, namun secara etika maka dinasti politik jauh dari kepantasan.
Bahkan parahnya lagi, persoalan kepantasan pun akan kembali diperdebatkan
sehingga semakin mengaburkan etika. Sebagian pihak menganggap dinasti politik
adalah hal yang pantas. Namun bagi masyarakat, akan memunculkan prasangka bahwa
terjadi proses yang tidak benar dalam pemilihannya.
Atut sebagai
pemuncak dinasti politiknya semestinya sadar bahwa akan lebih baik
mengedepankan etika daripada hukum formal. Apalagi, posisi dia sebagai pimpinan
tertinggi di wilayah Banten. Seorang pemimpin yang baik tentu tidak hanya
dilihat dari keteraturan dia menjalani hukum formal, namun juga pada etika.
Nah, kepantasan dari dinasti politik Atut akan semakin diuji tidak hanya oleh
masyarakat namun dengan kasus suap yang menimpa adiknya, Tubagus Chaery
Wardhana yang saat ini tengah disidik oleh Komisi Pemberantas Korupsi.
Sumber: http://www.koran-sindo.com/node/335774